Tak ada keyakinan berlebihan ketika aku mengirimkan enam puisi ke Harian Suara Karya Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2015. Sama seperti ketika kukirimkan via email puisiku pada kesempatan pertama dan kedua. Pada kesempatan ketiga ini pun hanya kuharapkan satu atau dua puisi lolos pisau seleksi redaksi dan dimuat satu bulan setelah pengiriman.
Sejak pengiriman pada email pertama 11 Juni 2015, kedua pada 8 juli 2015 dan ketiga tanggal 22 Agustus 2015 tersebut puisi yang saya kirimkan dengan alamat redaksi@suarakarya-online.com selalu rejected alias mailer daemon, yang artinya email gagal diterima alamat tujuan. Penyebabnya saya tidak tahu. Beberapa kawan penulis yang saya hubungi via messenger facebook untuk meminta alamat lain, memberi alamat antara lain: ami.herman@yahoo.com dan redaksisk@yahoo.com. Jalan keluar, maka pada puisi pengiriman I dan II saya teruskan lagi sesuai alamat yang kudapat. Pada pengiriman ketiga tetap saya pakai 3 alamat tersebut.
Pada tanggal 21 Agustus 2015, aku mencari facebook Mas Herman Ami yang kutahu dari kawan-kawan adalah Redaktur Budaya Harian Suara Karya. Akhirnya kudapat dan mencoba membaca statusnya dan kutahu ternyata sejak Maret 2015, Mas Herman Ami sudah tidak bekerja di Harian Suara Karya lagi. Di status tersebut beliau juga meminta agar karya cerpen dan puisi yang ditujukan ke Suara Karya agar tak dikirim lagi melalui emailnya. Segera kuajukan permintaan pertemanan ke beliau dan malam itu juga beliau menerima permintaan pertemanan saya. Saya ceritakan melalui pesan fb ke beliau bahwa sudah mengirim 3 kali melalui email puisi-puisi saya dan belum mendapat respon dari Suara Karya. Melalui pesan balasan beliau saya memperoleh jawaban bahwa Redaktur Budaya Suara Karya saat ini adalah Mas Pudja Rukmana. Selanjutnya beliau menyarankan agar pengiriman puisi dicoba melalui redaksisk@yahoo.com. Persis sperti alamat email yang disarankan rekan sesama penulis seperti Mas Budhi Setyawan, Bang Syafrizal Sahrun dan Ito Marina "Pemanggil Hujan" Novianti.
Eh, surprised, besok siangnya tanggal 22 Agustus, lewat koment fb, ito Marina Novianti mengabarkan bahwa puisiku dimuat di Harian Suara Karya. Lalu dari grup Sastra Minggu Asuhan Mas Abu Nabil Wibisana dkk, Penyair Endang Supriadi mengabarkan bahwa tiga judul puisiku dimuat di Harian Suara Karya, yaitu: YANG BERGURU SEUMUR-UMUR, GURINDAM MENCARI KHATAM dan KUNCI CINTA. Tentu saja perasaanku senang, tak sampai seminggu sejak pengiriman, akhirnya salah satu cita-cita yaitu puisiku dapat dimuat di Koran Nasional Jakarta dapat terpenuhi. Inilah puisiku tersebut:
yang bertanya-tanya sebab dan segala mula
guru hanya menuang setetes noktah putih
ke rongga pikirnya yang masih hampa
naluri kukuh lalu mempersoalkan kepala keruh
tapi dengan sesederhana itu
guru
membebaskan rahasia warna
ditangkupnya diam-diam halaman demi halaman
sampai setebal batang usia
setiap waktu tiba, ia belajar memilih warna
menurut rupa peristiwa
bertentang dan berkelok dengan sedikit variasi
hal-hal yang digaris tebal tiap kali mencoba nasib
meski kerap khilaf mengeja halaman-halaman biasa
yang lupa diberi tanda larang tegas
dari contekan
ingatan gurunya
ketika dia nukilkan hitam
dengan setajam ujung
kuku
itupun dipikirnya bukan tipu daya
hanya sedikit variasi akibat
memetik rahasia warna
yang tak usai dipilah-pilah gurunya
Medan,
Agustus 2015
GURINDAM MENCARI KHATAM
Merendam luka ke selaut cuka
tahulah
perih tak sepantas asa
memendam kata di
sembunyi perut
tahulah janjiku pun mengerut
mendendam rindu di dasar karam
tahulah cinta semakin dalam
menggendam pukau di matamu
tahulah mantraku sebatas mau
tahulah mantraku sebatas mau
Kutahu Kau sejauh telinga
belum seluas mata.
membabit dendam di retak
wajah
tahulah kita seasal rahim terbelah patah
membabat gairah di rumpun sejarah
tahulah bulirmu menurut punah
terbebat jasadmu setebal amarah
tak terkikis digerus tabah
mengabar pilu di dinding rasa
tahulah niatmu melebihi kenyal
duka
mengabur tangis sehampar sebab
tahulah dukamu sebukit sembab
mengobar api di sulut
dendam
tahulah hatimu dibakar legam
dipanas kau sedidih timah
dipejal dari remah gedebuk tumpah
Merapal alif sejangkau usia
tahulah aku setebal iqra
Melepas nafas ke ujung
langit
tahulah cekik sampai menjepit
Meretas kau sampai mati
tahulah rapuhnya sebagai temali
kutahu jiwamu
tak sepantar rohku
Medan,
Januari 2015
Kunci Cinta
:
Rhonda Byrne
Kucoba
membakar sejengkal karat
dengan
bara cinta yang kau sebut sebut
memahat sebentuk kunci lancip
melepas cinta
pengap
di
pintu hatiku terkatup
kupanggil
semua daya yang kau pernah tandai
setia
sebagai
kawan sekerja menanam
harapan.
apa
daya kunciku patah tersekap pada lubang yang
liat
tenggelam karam
dalam
gelap pekat
Kucoba
menyemai benih perasaan
pada kaki pengembara bepergian
di sungai darah yang ditatal
penjagal
dalam ceruk mata letih yang selalu kau dedah
berharap
terbangun jembatan penerimaan
di
hati cemburu yang lekas patah
selalu
saja burung burung pengintai memagutnya
sebelum luka turun temurun mengatup
tetap
merintih dengan perihnya
Rahasia
apa lagi yang mesti kurampas
permainan
mana lagi yang kau kupas
imajinasi
apa menghadang sesat biar kandas
aku
sudah mencinta tetapi jejak semakin
terkelupas
aku
berkali mengiba tetapi perampas
merompak semakin rakus
di
negeri hatiku terkatup setiap kunci dengan lubangnya tarik menarik
setiap
itu pula cintaku tarik menarik, kupak berserak-serak
Medan, Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar