Ada puisiku yang satu hari tuntas kutulis lalu kukirim dan dimuat. Ada pula puisiku yang bertahun-tahun kutulis tak rampung-rampung. Berkali-kali bongkar pasang judul, berkali-kali pula bongkar pasang diksi dan metafor. Demikianlah puisi berjudul DI HARI MERDEKA ITU IBU MENANGIS. Lama sekali puisi ini sampai mencapai bentuk dan isi seperti saat kukirimkan ke Banjarmasin Post. Puji Tuhan, Redaksi menilai puisiku layak muat dalam rangka Dirgahyu 70 Republik Indonesia, yang meski sudah bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang tetapi belum bebas dari jajahan impor, makan an asing menyerbu, ekonomi asing bercokol dan bual para penguasa menipu rakyatnya. Inilah puisiku tersebut
DI HARI MERDEKA ITU IBU
MENANGIS
bumi
basah, bumi kita meski bukan
darah
tapi
tangis ibu
melautkan mata di tujuh puluh kali
meski
bukan nganga luka
tapi
letup asa perih
memecah
air mata seburam cermin masa
ibu
yang mengikis haru telah
habiskah melepas lelaki mudanya
merangkak pada
malam yang tak bisa mendengkurkan waktu?
sepotong
semangat pudar yang selamat dari luka merdeka
kemana
mewariskan spanduk yang terpatri pada belah bambu?
sekarang
senapan
tiang semangat buah
tangan
sekarang
slogan perkasa banyak bicara
sekarang
kemarahan lagu pekerja gamang
bumi basah, bumi kita. meski bukan cecer darah
tapi
ibu menangisi
anak bungsu pagi tadi
yang
terkapar kurban letupan putus asa di desa
tak
seperti bapanya
martir letupan semangat masa lalu
setelah anak
sulung tertimpa
beban bulan pertama
tujuh
puluh anaknya ia genapkan menungkai bumi, bumi kita
ibu
menakar bangga derajat berapa ia lahirkan anak-anak perkasa
mengekalkan
busung
semangat darah bapanya.
betulkah
datang, pergi dan bertualang menantang pusaran matahari
atau
tumbal
keperkasaan selusin slogan pemimpin?
bumi
basah, bumi kita, merah bukan tetesan darah
tapi
selempang yang menampakkan gundah
kematiankah
menjadi pengungsian mimpi
setelah mulut hanya bicara lantang?
ketika
tubuh
menyeret luka malam hari
darah siapa meterai
negeri?
sekarang
sibungsu tumbang
tumbal selusin slogan-slogan pemimpin
hanya
bumi yang wariskan sepenggal bangga, bumi kita
sampai
tulang
tinggal tungkai mendekap tanah
tinggal gundukan
menunda erosi
semakin
terdengar slogan-slogan
dihembuskan
senapan lelaki muda lainnya
“dan ketiga belas rusuk
yang menghitam
duh,
bagimu negeri dijadikan senjata”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar