Apa lagi hendak kukatakan selain kegembiraan karena Bulan Agustus membawa berkah padaku. Putriku berulang tahun tanggal 29 Agustus, Puisi pertamaku di Koran Nasional Jakarta terbit di bulan Agustus, Tiga minggu berturut-turut Surat Kabar harian sudi memuat puisiku. Puisi yang terbit dari tiga kota: Banjarmasin, Jakarta dan Banda Aceh. Terimakasih Tuhan untuk bulan yang kujalani ini.
Demikianlah pada hari Sabtu pagi, Bang Azhari Aiyub Redaktur Sastra Serambi Indonesia, Media yang berada di ujung barat Indonesia mengirimiku Surat Elektronik untuk mengabarkan: "Jika tak ada aral, besok hari Minggu dua puisimu akan tayang Bung Bresman." Dari kantukku aku terbelalak senang.
Dua kali mengirim puisi ke Media itu baru mendapat kesempatan tayang tanggal 30 Agustus 2015. Satu puisi dari pengiriman pertama, satu puisi dari pengiriman kedua. Dan seperti yang sering kualami setiap mengirim puisi ke suatu media buat pertama kali, alamat yang kutuju selalu alamat belum termutakhir. aku hanya mencatat alamat email di koran cetak ketika aku sedang melaksanakan tugas Kantor di Kota Langsa. Puisi pertama dua bulan tak ada berita. Di puisi kedua aku juga masih hanya mengirimkannya ke alamat redaksi@serambinews.com. Barulah setelah berkomunikasi dengan sastrawan Marina Novianti "Pemanggil Hujan" yang cerpennya baru dimuat di Tabloid Nova serta searching di google, kudapatkan alamat lain yaitu aiyub.azhari@gmail.com, yang ternyata email yang lekas memberi respon. Dua minggu setelah puisi pengiriman pertama dan pengiriman kedua kuteruskan ke alamat terbaru itu, akupun mendapat respon menyenangkan. Terimakasih ito Marina untuk alamat yang kau beri, terimakasih Bang Azhari Aiyub atas responmu. Inilah puisiku yang berjudul BATU dan SAJAK KELAPARAN tersebut
B A T U
Sebuah
rumah batu
jendela
batu, tak berpintu
telah
tumbuh dari rumah kayu
tak
ada engsel membuka jendela
engsel
jadi batu
tak
ada engsel menutup pintu
engsel
jadi batu
aku
pun berdiri di depan rumah batu
melihat
perempuanku jadi batu dekat tungku
di
kursi batu
dengan
liang sanggama meneteskan
calon
anakku, jadi batu
(Rumahpun
melahirkan gaung
dan
tertusuk di tiap dinding)
dua
telingaku terasa jadi batu
Suara nyanyian itu menempel di
dinding
pun jadi batu
jadi ornamen tak punya jiwa
hanya tubuh
lantas kemana orang-orang itu?
Astaga!
Pasangan itu mengangkang jadi
batu
SAJAK KELAPARAN
puisi bertambah keras menguji ketabahannya
bagaimana mengintai aksara gesit berkelit
purnama sudah lama menunggu, semangat makin karat dan
terperangkap
melarikan mimpi sebadan tapi tak menghalau lapar kata-katanya
ramuan pengharum yang diraciknya menyedap ritus
kuning setangkup getir menunggu tuaian
telah ditabal dia
penyair gagah memanggul bait-bait menumpuk di bahu
sewibawa otot dan kepala dewa-dewa agung
berkali malam suntuk, berkali lepas semua makna kata.
berharap tertangkap lagi
persembahan buat perempuan-perempuan yang hanya berahi
oleh syairnya
sayang, ia tetap pengintai yang tak pernah beranjak
menuai tangkapan
Medan, Maret 2015