SEBATANG
KAYU TERENDAM
Seseorang telah menambal mata kayu
dengan jantungnya
menandai luka dengan memercik-mercikkan gumam
lihatlah mata air
itu baru patah bercabang mengabarkan tangisnya
bahwa sunyi telah retak
membelah hening yang sempurna
tak ada lagi yang mesti
disimpan hingga berkali-kali tahun
sejak bermula ada ranting
muda menyerah
di sungai yang terpapar
burung burung pengkhianat bersiul-siul
melepas semua rahasia
terendam paling hormat
tak hanya dahan,
sebatang kayupun badannya berlari mengejar laut
meninggalkan rupa yang
terkoyak di belantara
berharap ada perupa yang memberinya mata dan wajah berbeda
LIDAH LUDAHKU SENDIRI
aku
tanam benih pada celah merongga batu zakarku
bukannya
tumbuh ke dasar hati, malah lidahku yang
datar
tumbuh
dedaunan lebat merambat bercabang dua
mendesis
serupa ular kobra sedahsyat lapar memagut butir peluh
tiap
melontar dari lumbung ruhku tak sempat
pecah kecambah
kali
lain aku mau berbaik-baik dengan lidahku
siapa
tahu ia bunting manis berlaksa kata
berharga
memuas
dahaga semua impian tua merana bikhu
pertapa
ilalang
tiba-tiba menajam datang meludah hatiku
dengan
cercaan tak sopan menjulur begitu saja dari putik muda
memagar
lidahku bertemu siapa saja
lidah
ludahku sendiri tak dapat kuhampiri
berontak
sepenuh maki sebagai ratu penguasa tubuh
menyingkir
jiwaku, terjepit di lorong kerongkongan
sebagai
penyesal merunduk dibunuh suara
Medan, 8 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar