Beberapa kali mengirim puisi ke suatu Media tanpa jawaban dimuat atau ditolak selalu menimbulkan rasa penasaran dalam diriku. Bukannya menyerah tetapi membuatku semakin bersemangat untuk mencoba dan mencoba lagi, walau terkadang disertai gerutu juga. Ternyata selain puisi yang belum dianggap kuat, salah satu penyebabnya adalah email tak valid atau email yang nyasar. Dari email Mas Triyanto Triwikromo akhirnya kutahu bahwa pengasuh rubrik sastra Harian Suara Merdeka adalah Mas Gunawan Budi Susanto. Terima kasih kepada Mas Triyanto Triwikromo yang sudah berkenan meneruskan puisiku ke email Redaktur.
Puji syukur, dua minggu setelah pengiriman, dua puisiku berkenan dimuat oleh Rubrik Serat Harian Suara Merdeka Minggu 4 Juni 2017 yang berjudul 'Perang Daun' dan 'Damai Air' sebagaimana yang kutulis kembali di bawah ini.
PERANG DAUN
jika ini tentang bunga
tiada berani namamu kutanam di
lubang dada
jika ini tentangmu
meski bukan aku
musim pasti menulis bunga
seperti kelopak jatuh raga
tak satu gugur warna
sia-sia hari menjelmakan petaka
jika ini tentang muslihat
tiada bunga tak kuat jika berkawan
seikat
melampaui sepanjang hamparan
maksud
menyerah dinujum persekutuan harum tirakat
jangan membawa angin beritikad
keji
tak guna mendera sepanjang tangkai
walau pucuk tak lagi mampu membusung
tampuk kau petik tetap semurni
cita-cita
mekar berguling ke hampar sungai mengurai
gelagatmu tak bisa selamat menabur sekujur bilur
tiap lembah masih gampang mengingat
cara musim setia menghibur
firasat sepasang zigot
seperti bunga kawin yang selalu sempat bersatu
menyisipkan calon serdadu
meski diterjang mati
Medan,
2016
DAMAI AIR
air di tempayan
yang kau dulang segigih beriak
dari hulu ingin anak-anak
tentu tenang dan tak pernah berhasrat
dalam
menyimpan gelagat
seperti jarum di jerami
dalam sejengkal terbaca akal
paling dangkal
walau khatam mengendap firasat
paling redam
serasa lebih pandai
aku harus merasa mengerti bahasa
air
yang tak riam dan tampak pasrah telanjang
kubaca ruam lebih dari sepangkal
mendatar sejengkal
andai ku tepuk seperti kawan
paling-paling berlagak berisik
memercikku
seperti kecipak rasa malu menawan-nawan
kawan
apalagi bila kubiarkan mukaku tersipu
hamparan di wajah lebih cepat terdampar
disapu hamparan masa lalu
maka tak perlu aku berancang-ancang
kencang
mengarak balasan bak sebuah perang
sampai tiba-tiba terdengar
suara memanggil-manggil
dari tepi selokan berburu ke tepi
kali
meliuk ke ujung muara
orang-orang sibuk memastikan
aroma bangkai
seorang lelaki dan air setempayan
telah hilang tiada kabar pasti
“kau harus tetap hanyut dalam damai.
damai yang bisu seribu basah
kalau masih ingin jadi takhyul”
begitu tenang bisik air itu mengasingkanku
Medan
2016
Wow... mantap sekali..
BalasHapus“kau harus tetap hanyut dalam damai.
damai yang bisu seribu basah
kalau masih ingin jadi takhyul”
begitu tenang bisik air itu mengasingkanku
Saya suka...
lrisar.wordpress.com