Puji Tuhan! Untuk kedua kali Harian Kompas berkenan memuat puisiku. Betul seperti kata Mas Dedy Tri Riyadi dan May Moon Nasution bahwa ke Kompas kudu rajin mengirimkan puisi mengingat banyaknya email masuk perhari yang ingin menembus Media tersebut. Maka 6 bulan sejak puisi pertamaku dimuat pada Tahun 2016 lalu, aku pun mengikuti kebiasaan sobat berdua itu dalam hal frekuensi pengiriman dan tematik yang ditulis. Walaupun bukan tampil pertama kali di Kompas, bagiku ini tetap sesuatu yang luar biasa yang patut kusyukuri. Terima kasih kepada Mas Budhi Setyawan, Dik Muhhammad Daffa, Lae Hotma Tobing, Mas Galang Pratama yang lebih dahulu menginformasikan tampilnya puisiku di Harian Kompas. Di saat aku belum mengetahui sebelumnya. Terima kasih juga untuk Mas Umar Affiq atas file jpg yang meng-upload-nya di FB sehingga bisa kudownload dan kutampilkan di blog saya ini. Inilah tiga puisiku yang dimuat tersebut.
MASIH MERINGKUK DI GULITA TOBA
1)
di sini dulu gulita terancang
jangan harap berani berkunjung bintang
meski sesekali langit membuka tudung
cahaya takkan kunjung kencang dari bait gunung
semangat berharap kerap
rentan berguncang
lenggang mengacir kala menumbang rimba gelanggang
sepasang lengan baru berani
bergelagat ria
kalau merayu kerelaan hantu-hantu dengan ratapan mantra iba
gejolak luka-luka tepi belantara akhirnya
mau seperti hamparan yang
rela rata
selesai masa bercinta,
tercipta tujuh belas laki-laki
penggembur bentala
enam belas benih jadi perempuan peniup
bara
tertunduk-tunduk meneguhkan
padi siaga
kebiasan lelaki penghilang malang
lalu-lalang ke bukit. datang dan pulang menyalakan perang
menghela tindak-tanduk binatang jalang
menggubah lembah lalang ke rupa ladang
menggurah muka ke garis merona
selepas waktu melahap tenaga
agar jembalang tak seseram masa padam bentang petang
jika tak ada padi-padi mampu
diguncang
tak ada pembayar tulus tenaga
dewi murung masih terbungkus setengah bunting
sejumlah
tanya yang lapar
kerap mengusik inti kepala bapa-bapa
maka berburu mabuk dan adu tidur
adalah waktu tercepat menentramkan sengsara
2)
di sela ketibaan selera lancang
pencari-cari upeti
di celah riak samudera terselip
dua tiga pendoa
diutus menawan pukau mantra datu wangsa
mula-mula dua pendoa datang tak matang
tumbang ditebang abar barbar pemangsa
tapi darah tiris selain tragis selalu
mengikhlaskan sesal suci
dengan rayuan beratus-ratus ayat yang
berjurus tulus tanpa benci
datang merasuk turunan. datu tirus simpuh, patuh ditebas cikal doa
hari-hari
bersama pedang keji, para penanam belati pasrah rebah ditembus
kasih
satu persatu mantra tawar sakti. mati
dipapar bahana cahaya hati
mahir bersimpuh, tumbuh dan rekahlah
badan mekar si jalang
mendirikan satu-satu mimpi
dengan beriring doa berani
terbang
tiba-tiba terkabar mencapai awang
tinggi mencari terang
disulut
berita sudah menggapai berkat. ditabal
setingkat kejora menjulang
3)
mata pengeluh dari keruh tidur,
terbelalak menatap langit toba
mula-mula terbata-bata
menduga-duga
makna
kelap kelip datang menumpas sengsara
gulita?
yang berawan cemburu, sesungguhnya
mata peronta
tergoda memanen
piutang
demikian putera-puteri penentang
bermimpi disuruh bapa ikut menumbuhkan
tulang
berharap kelak pulang seperti bintang
beruntung menenteng cahaya senang
tapi rasa senang dimana-mana selalu
bernasib tak pernah tenang
mimpi-mimpi bintang melanglang sejujurnya tak lagi ingin pulang
yang tegar
menjulang menerangi hanya negeri laut seberang
bapa pun muram di malam toba gulita kedua kali. terguling bercucuran linang
4)
satu-dua orang loba lekas mengaku
saudara Sang Bintang Punggawa
mencuri hikmah binar ke mata,
benar-benar tak gentar meniru-niru cahaya
beribarat mengantar warna pengusir ratap merana dan bimbang
di pintu-pintu kampung mengakui diutus satu bintang
meski hanya bertanda jubah berpenampang cahaya benderang
menghamparkan sinar, konon pantulan
untung-untung Sang Bintang
konon tulus diterbangkan dari sisi kanan Saudara seperut inang
cara bagi lengang huta-huta melepas
kesima mendengar lolong
si loba mengarak orang-orang ikut
meninggikan batu. mengatasi bukit tenang
persatuan tatap bintang, pertemuan
mengenang buah mimpi-mimpi pemenang
tujuan pertama di antara rumah kampung oleng dan
kandang bau kencing
menumbuhkan lambang mulia di tampuk paling agung
bertangkai gemerlap asing, sedap
dipandang-pandang
persekutuan satu rumpun keluarga
menggunturkan dada
wahana menaikkan serunai setinggi hati
penanda pemilik bintang bukan sembarang
di belakang iringan riuh yang lantang
diam mengerling sekaum lapar dan compang
diri disuruh sembunyi nasib
sebab di upacara seagung itu aib pantang dijulang-julang
5)
satu dari si loba bernasib jadi penghulu
lembah gaung
dulu penggerutu gunung, kini saban hari
semangat berhitung-hitung
di purnama pertama bimbangnya
sering menjelang
di purnama kedua pandai
bersenandung mengapung mumpung
jangankan jagung, kulihat padi-padi dan kemenyan sudah jarang dilarung
“ mengapa kau tambahi lumbung?” mataku
bingung
“berhitung jangan pakai mata, Pung! nanti kau pusing,” ia membusung
6)
desas-desus tiba menjadi rupa menjelang
purnama kelima kali
ada si loba diusung kelap-kelip beriring
bunyi-bunyi
kusangka dibawa bintang, hendak jadi
bintang atau mendapat bintang
(ternyata disebut sekampung, seseorang digaruk kabar buruk saat berhitung)
Di bulan sama, berentetan tiba di tiap pagi sulung
kusangkakan perantau agung pulang menenteng kelap-kelip
terang
(disebut orang sekampung sudah tiga bintang mengeram dalam peti
mengakhiri mimpi ulung)
“mereka bintang jatuh. Tiap sehari menggenapi umur di petang
seberang
sebelum kaku terlentang, berpesan
diusung menyuburkan kampung.
minta disimpan di kolong batu tinggi, di
bawah belulang ompung, di bawah among
selalu begitu
cara bintang tiba ke muasal.
kaku dalam gelap” ujar
kerabat malang
peristiwa peristiwa
demikian melintang di toba
menambah gulita terbentang
di mata kerabat
menabung linang di bukit-bukit
Balige,
Juli 2016
Keterangan:
datu (bhs batak toba) = dukun Pung = singkatan Ompung
ompung
(bhs batak toba) = kakek/nenek
among (bhs batak toba = ayah.
horas= selamat sejahktera
MENYARING TITAH DI PARTUKKOAN
mari duduk menukil kebiasaan
cermat pendengar tua
menangkap ngengat
berjingkat-jingkat di celah cerita
diam-diam ingin beranak pinak ke ceruk gelap tangga
tahta
menyiksa raja cemas sampai
berkepala tampak oleng
tak mampu sesekali bersabda
jangan kau bayangkan akibat
peninggalan keji raja
walau memutus nadi kurban
lumur darah tanpa raut amarah
ingatlah letih kening baginda
yang tunduk memutar pelik
sesekali kepingin mengundang
rentak memantik gelak
sampai tiba suara bungsu dari
lubuk dada
mencipta cahaya menemukan
renik meski tak semerah kerumut
benderang segala angkara dari
pusaran gelagat
mengenyahkan alibi di altar eksekusi
sekarang mulailah mengumpul
makna
dari waktu yang liar
beterbangan
merangkai debu hingga bersatu
meninggikan kerangka
landasan pulang pecahan tubuh
dari liang setengah baka
upah terhalau dikucar-kacir
sengketa
seperti para moyang agung bertarung
setia bersandar sendi di
partukkoan
kembalilah kemari menampilkan keajaiban batu-batu
dalam hikmat menampakkan
khasiat kata-kata datu
mampu merayu segala yang
sembunyi sedingin
hantu palung
tahu-tahu ruh terpana dibawa
pulang
dari plesir tega angin surga
cukup tersungging memahami
pertanda
Medan, Mei 2017
Keterangan:
Partukkoan
adalah wadah komunikasi para pihak yang difasilitasi raja Huta atau raja Parbaringin dalam mengambil
keputusan, baik dalam hal penyelesaian sengketa tanah, masalah pertanian,
perencanaan pembangunan, di wilayah
tertentu di tanah Batak
kecut unte jungga
rupaku makin mirip keparat mulai keriput
menabung
kecut di rongga dada tua
diperas-peras hantu belanga
siapa bilang aku tambang karma
menimpa doa-doa ikan menempa maut
belum
pernah kugantung ratap
menjenguk
jagad danau dan lelembut
jangan umpat-umpat aku sepantar telaga sampah
si tua sepertiku bertuah luluh melulu
ditusuk tumpah sumpah perantau
sebelum membusuk kuingat nasibmu
kurasuk susuk
aroma paling ampuh
sampai keberanian ajalmu berbaring
setampan teguh
siapa bilang aku kumparan bala
di mata luka-luka medan laga
belum pernah kujajah darah
seperti lelembut buruk memamah
kubantu ajal ikan-ikan bergelagat sia-sia
menangga derajat raja-raja
keterangan
Unte jungga adalah asam khas batak, bentuk
agak mirip jeruk purut tetapi dengan kerut yang lebih dangkal. Asam ini memberi rasa dan aroma khas pada masakan batak
bernama naniura yaitu kuliner khas batak, biasanya ikan mas yang 'dimasak' dengan perasaan 'unte jungga' mirip sashimi jepang namun naniura sangat kaya bumbu, yaitu selain perasan 'unte jungga' juga ditambah bumbu halus berupa
campuran kacang tanah, rias, cabai dan
andaliman