Sejak dikomandani Bang Diurnanta Qelana Putra, puisi-puisi yang masuk ke Harian Medan Bisnis menurut pengakuan beliau semakin berjibun. Penyair yang mengirimkan karyanya semakin banyak yang terbilang penyair mumpuni. Akupun merasakan kehadiran puisi-puisi yang semakin bernas dan beragam asal pengirimnya di harian tersebut. Sebutlah Marina Novianti, Subaidi Pratama, Muhammad Asqalani, Budhi Setyawan dan lain-lain.. Dan aku termasuk beruntung, dapat menyisipkan karya diantara penulis beken itu. Kali ini ada 5 puisiku yang bersanding dengan karya Penyair Selendang Sulaiman yang sudah ngetop itu. Adapun kelima judul puisi itu adalah PENGASAH BATU, BUNYI-BUNYI BERTEMPURAN BUNYI-BUNYI BERGUGURAN, MENANTANG MATI, RUPA-RUPA MANUSIA,MANUSIA YANG MENGGARUK-GARUK TELAPAK TANGANNYA.
Memang untuk karya yang dimuat tersebut ada cacat tampilan, yaitu editor dan tukang layout di Harian Medan Bisnis tampaknya kurang cermat dan kurang komunikasi dengan Redaktur. Akibatnya tata letak puisi yang diterbitkan kurang sedap dipandang mata. Belum lagi soal pemenggalan bait dan peletakan baris banyak yang tak tepat. Barangkali akibat diburu deadline sehingga terburu-buru menyesuaikan kolom yang ada dengan jumlah puisi yang harus tertampung dalam setengah halaman koran tersebut. Dan respon Bang Diurnanta terbilang cepat atas ketidak nyamanan yang kualami. Ya, aku memaklumi. Sungguh manusiawi jika terkadang kualitas pekerjaan naik turun.
PENGASAH BATU
sepercaya firman:
sebongkah batu berkilau diasah peluh
lelaki itu menghunjam kulitnya bertambah dalam
mengopek batu bebal
mengupas batu kumal
dari sebundar harapan buram.
Seperti hantu hasrat menggertak geram
sekuat batu sekeping ditatal
tiga empat serpih tubuh kaku
membabit urat
terangkatlah cerita samar
sejauh perjalanan negeri gunung
dari rendaman rupa puteri laut
ke genang darah negeri lumat
sampai camuk lima warna centang semburat
di semangat semakin kukuh
terkikis kabut dan pekat tubuh
hingga terungkap kejujuran semata biru
sejak lama terkubur peristiwa
berapa keras hati terpendam
di masa silam tergerus ?
lelaki pengasah kini terpasung janji
berutang tumpangan teduh
sewajah batu merekah
hendak diberi hidup baru
jika sempurna menggambar surga
MANUSIA MENGGARUK-GARUK TELAPAKNYA
bapanya yang percaya khasiat telapak
gatal
tiap-tiap memanggil amin dalam harapan
sang bapa meminta selalu:
“tuhan, berilah aku telapak gatal secukupnya yang datang tiba-tiba
penanda berkah sedang selancar
menggelitik semangatku yang runduk”
gelitik lalu datang seketika
entah setelah hujan, setelah angin,
setelah matahari bertulah
di sela ilalang dan batu kali mengasah
telapak gatal jernih meneteki benih
tawa
di regang garis mata hampir lengkung.
menguat gatal, menguat yakinnya
menepuk garis tangan segaruk nyaring
tergarislah rezeki
selandasan berlabuh
hingga seramai kabar mengepung
delapan mata angin meriuh kampung
berita telapak bapaknya yang bergenang
berkah segepok ruah
lalu sekampung berduyun-duyun meminta
khasiat
cara merasuk gatal
menyinggahi tiap-tiap orang
bapanya yang takut disatron, terpaksa
menuntun cara tengadah :
“tuhan, berilah telapak gatal berserak sesungai meniris
bertabur ke lubang pikiran
sekampung cemburu”
dari sanalah kepercayaan bermula
telapak gatal berhulu berkah
dua pagi lalu telapakku gatal segatal
telapak istriku
bibirku rekah tergoda membayang genang
berkah dua kali lipat
dalam perasaan tengadah sambil menggaruk di sofa coklat menekuk senja
hingga malam tiba berkah ternanti tak
menyusup juga
sampai gatal memuncak setinggi amarah
sampai saling menyalah
saling menampar dengan telapak gatal
MENANTANG MATI
Akulah yang berkayuh menajamkan tubuh
ke utara
menjemput jejak tak sampai
luruh
menggenapi lingkaran darah ke bumi sesempurna
putih
mengalir surga ke hulu perih menumpah cemas
marilah kemari mematah semua yang biasa lumrah
bersepakat
dengan riak menepi dusta karam
yang mengumbang pelaut membuang
dendang ke karam sejarah
menyerah di
luka angin, takut bertentang arah
akulah yang berkayuh mengguncang gunung tapa dari rekat hati patah
yang tak berlama di rimba utara mengulam urat-urat getir
setengah
lelah lagi cinta terjerat tak lagi rapuh
aku tekong dengan peluh, menghembus samudera
diasah kayuh, mencacah sumpah rimba berhantu:
mustahil laut kepada sungai berserah
mustahil muara tak tergoda batu lepuh
seberapa hujan kekasih sungai tak ingat waktu bersetubuh?
hanya sepercaya kayuh kutajam tubuh, meluka angin menyingkap arah
Taman Nasional Ulu
Temburong, Brunei 2013