Ada dua hal unik yang kualami seminggu sebelum Pak Abdul Rahim Qahar Redaktur Rubrik Art And Culture Harian Medan Bisnis kembali ke haribaan khaliknya. Pertama, adalah soal rasa penasaranku terhadap satu akun email bernama ramalialubis.com tempat pengiriman cerpen/puisi ke Harian Medan Bisnis. Sebelumnya aku berpikir bahwa akun itu adalah milik seseorang bernama Ramalia Lubis, yang merupakan salah satu Staf Redaksi Pak Abdul Rahim Qahar. Namun setelah 3 kali aku email puisi ke alamat itu pada rentang waktu Januari-Mei 2015 dan tak kunjung satupun puisiku dimuat membuatku pensaran. Siapa sebenarnya Ramalia Lubis ini kok begitu acuh terhadap karya puisi yang kukirim tahun 2015? Padahal di tahun 2014 pemuatan puisi lancar-lancar saja. Rasa penasaranku terhadap nama akun email itu kuungkap kepada Bang Antony Limtan seorang sobat lama zaman remaja di Ikatan Penulis/Penggemar Sinar Remaja Harian SIB (IPPSR SIB) yang saat ini merupakan salah seorang Redaktur di Harian Analisa Medan. Pada mulanya dia pun kurang mengetahui akun itu milik siapa. Tapi beliau berjanji akan mencari tahu. Beberapa hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa akun email itu adalah milik Pak Abdul Rahim Qahar Sang Redaktur Art And Culture Harian Medan Bisnis. Nama ini sejak zaman aku SMA sudah kutahui dan kukagumi sebagai seorang penyair SUMUT yang bagus karyanya. Lalu entah dorongan darimana aku tergerak untuk mencari-cari akun facebooknya. Kutelisik satu persatu akun yang menyerempet-rempet namanya, sampai aku merasa yakin bertemu satu akun yang menurutku adalah kepunyaan beliau sebab infromasi yang terbaca sekilas merujuk kepada profil pekerjaan dan foto beliau. Kuajukan permintaan pertemanan dengan harapan jika telah diterimanya pertemanan yang kuajukan, aku akan menyampaikan unek-unek. Soal nasib puisiku yang sudah tiga kali pengiriman seperti diabaikan saja. Namun belum sempat mendapat penerimaan, kuperoleh kabar dari status penyair Syafrizal Sahrun bahwa beliau sudah berpulang ke rakhmatullah. Aku turut bersedih atas kepulangannya.
Lalu beberapa hari setelah berpulangnya Pak Abdul Rahim Qahar, tepat di hari minggu 5 juli 2015, kulihat pada lembar koran Medan Bisnis Rubrik Art and Culture bahwa alamat email pengiriman karya cerpen/puisi sudah bukan ramalialubis.com lagi. Hal tersebut semakin meyakinkanku bahwa email ramalialubis.com adalah aku Pak Abdul Rahim Qahar. Akhirnya aku kirim enam puisi ke alamat email baru itu yaitu diurnanta@gmail.com. Puji Tuhan pada Minggu 12 Juli 2015, 6 puisiku dimuat pada halaman 16 Rubrik Art And Culture yang pada hari itu menampilkan Galeri Puisi dari 3 Penyair, yang berbeda tampilan dari edisi sebelumnya. Tampilan yang apik dari Seorang Redaktur Bang Diurnanta Qelana Putra! Inilah 6 puisiku tersebut
KOTA MENUNGGU
tubuh para ibu terpasung di kepala dan mata kaki kota itu
regang jadi temali,
membusung gerbang kota
sebusur-busurnya
berlusin anak
muda pun satu persatu dilepasnya sebagai mata panah
memburu kilau impian ke menara cahaya mengikut
lengkung pikiran
kota masih sabar menunggu tuaian di tapal batas
menuakan lapar
jika tiba waktunya pulanglah perantau dari ranah jalang
bertiti lengkung pulang-pergi yang sama, yang samar terpeta dalam harapan
membawa senyum terpanah ke gerbang, mengenyangkan masa
tunggu
selama mata panah pergi, beton-beton kota lepuh karat
menanti
urat jantungnya bertambah mampat menampung larian
muntah peminum tuak
selalu mengerang di malam-malam hampa dengan nyanyian
patah-patah tak tuntas
mabuk berbual rindu yang tak sampai ke seberang lautan
tentang panglima berganti-ganti, meracau kebingungan
menyudahi epilog notasi
tentang hulubalang memagar kota dengan slogan-slogan
berkerumun tanpa sungkan
kota terhuyung beban pergulutan, terperosok marwah di
bait-bait melompong
ah, pemabuk berkata kosong, panglima berkata bohong,
gelas tertungkap gosong
nyanyian berdengung tak bersyair kelimpungan mencari
tujuan
hendak menangisi amplop kosong, gelas kopong atau
muslihat lolong berbasa-basi?
duhai mata panah kilau di pucuk menara gaung
sesekali kenanglah busur yang melambungmu sebagai
petarung
kenanglah ibumu sebab punggungnya mulai patah
bertambah lengkung
kenanglah lolong bapamu terperangkap bermabuk rindu
bergulung
kenanglah semua yang terpasung gertak pagar-pagar kota mengerubung
mainan paksa panglima dan para hulubalang bingung
datanglah ramai-ramai memanah rindu kami bersama
senyum membusung
niscaya panglima dan berlusin hulubalang kau lesat
sebagai mata panah tumpul
bingung mengonggok di jurang terbuang
Medan,
Mei 2015
ANOMALI NASIB
Probabilita 50:50
di buku seorang penghitung
menyengat pikiran para pembaca hidup
orang-orang optimis berpacu ke jurang umur
yakin menang
menyisir separuh kenyataan
100 pembaca
terperosok ke lubang itu
semua berjumpa sesal
yang tak habis-habis
lalu menggali bertambah dalam
teringat
probabilita 50:50
yang pernah terjadi sewaktu ceteris peribus
di alam raya mula-mula
mungkin mengubur nasib baik disitu
goda keberuntungan melupakan ajaran
sejak tuhan membagi benaknya
siapa lagi yang tak luput merekayasa?
agar sekali menang terbilang terus
kalau sekali hilang siapa peduli.
seperti yang hilang berulang di jurang itu
100 mengubur
kepala dan ekor
Medan,
Juli 2015
MENCARI RUMAH BARU AYAH
Seseorang
masih menangiskan ingatannya
Jantungnya tumpat
meniup niup debu cukup lama
lunglai
mengais empat titik yang pernah diberi tanda
berharap
menemukan lubang udara
tempat
biasa hatinya berkirim kata
Mengenang-ngenang luka.
berulang
mencoba
lubang itu
sembunyi kemana
dimana
tempat mencari? dia menangis
sejadi-jadinya.
rindu yang sudah digenggam berhambur sia-sia
lama
digenang dan waktu tumpah harusnya tiba
lewat bunga
yang pernah ditancapnya di antara mata
segera dia
siuman dari lupa
disitu lubangnya menggenangi rupa
Medan,
Januari 2015
PENUNGGU HUTAN 1
katamu kita akan menebalkan belantara
melebihi rapat alis perempuan menggoda
selalu jadi bandingan cinta tak bertara
mengibas teguh
mata daun runtuh berjaga
kaupun menanam maksudku meninggikan bibit cinta
di hamparan perasaan membusuk luka
jalan pintas mengatup rintih tanah menganga
ingin merdeka mengobarkan bau rahasia kita
dari tempat dibuang di jurang-jurang kematian pertapa
secepatnya
tersekap oleh harum bunga-bunga
secepatnya didekap kerlingan rupa raflesia
meraup lapuk belantara
yang rubuh tergoda
katamu setubuh cinta kita telah menebalkan belantara
menenung kegaduhan orang bunian lelap tak karena
mantra
semut beriringan telah tiba dari perjalanan menjauhi
alis wanita
katamu meninggalkan perempuan kerontang kehilangan
gelora
laki-laki
tergoda melepas pucuk berahi di payung rimba
(lelaki kota yang tak takut lagi pada penunggu
menjelma
memang berduyun-duyun ke rimba sebab mendengar rayu
suara)
aku mengintip, aku mengendap-endap ke tepi belantara
astaga! hanya ada tumpukan penunggu rimba dan pertapa
semut-semut itu membelah alis para pertapa
ramai-ramai memanggulnya ke kota
lelaki membelah penunggu rimba
memanggulnya ke kota
Medan,
2015
PENUNGGU HUTAN 2
sepasukan burung menanam rahasia di tajuk rimba
sedalam persekongkolan muasal lorong petaka
melamur cacat kelam hilang di lubang raga
berlabuh siasat ke persembunyian sempurna
menjejali kesesatan pikiran pendekar kota
seharga kebingungan selinap di mata mereka
cerita keramat akal beranak hantu di cabang dua
mendebar-debarkan jantung tajuk strata
hendak membanting, bila mendekat siapa saja
lingkaran tahun perlahan terbunuh bersama catatan peristiwa
siang dan malam berderit, dikerat tinggal debu serbuk dupa
bau dan suaranya menyergap pemburu meraba rahasia
membawa roh bunian ke jelmaan batang hilang
mengerat tunggul dan menyangka telah memangsa manusia
manusia yang merampas mahkota rimba
orang-orang rimba tak berani menyebut kemana jasad
petaka
meski tajuk raib serempak dari mata
sebab menyangka pasukan bunian selalu menjelma
menghadang dengan rupa tak tembus mata
membanting, bila mendekat penciuman siapa saja
memangsa, bila dekat keberanian siapa saja
Medan,
Mei 2015
PENUNGGU HUTAN 3
: musim sawit di pantai timur
telah
kutahu tabiat pelepahlah
yang membakar-bakar sunyi
selepas mengembara dari afrika singgah di belanda
ke satu berahi industri di eropa
terjengkang sampai ke swarna dwipa membawa musim
gaduh
membelah berahi bunga-bunga
tak sempat berkawin merumpunkan turunan
berimbas pemukim gunung-gunung menangisi
langit terbuka
mengutuk hantu-hantu mengapa hilang tak menghalang
rumpun yang bersikukuh memeluk gunung, dicacah tinggal bencana
rintih bakaran
berbau abu dupa, tersisa hanya seserbuk
aroma
bukan lagi persembahan yang biasa kepada hantu
hanya penanda abad berganti adab
tajuk bersilsilah strata ke pelepah sekultur
hantu gunung jengah di muara mengutuk
pantai timur
turut pula mengapungkan serdadu kaku
ke tepi-tepi bakau
kucar-kacir
langkah orang-orang melayu yang berburu kerapu
terhalau melarikan langgam dari payau tertimpa petaka
bagai pelarian terlunta membenam di kampung tak bermuara
hantu gunung dan serdadu kaku berdendang memanggang
jembalang
melayang memutus silsilah bakau di payau punah ke
hitam arang
serupa membakar pemukim gunung ke panas petaka
sepenuh bebal mengabukan rimbun kenangan
Medan, Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar