Pada Tanggal 14 Desember 2014 lalu, tiga puisiku dimuat harian Analisa Medan pada Rubrik Rebana asuhan Bang Idris Pasaribu. Tentu rasa senang menghinggapi. Bukan persoalan honor, tetapi kepuasaan batin karena hasil kontemplasi dari campuran pemikiran dan sublimasi pengalaman yang dipadatkan menjadi puisi dapat dishare pada banyak pembaca, khususnya peminat sastra.
Ketiga puisiku tersebut adalah: Sejarah Timotya, Pencari Tuhan Yang Sesat dan Yang Ingin. Adapun sejarah lahirnya puisi tersebut dapat kuungkapkan sebagai berikut:
'Sejarah Timotya' lahir dari peristiwa duka dalam keluarga lae (ipar) saya, adik lelaki istriku yang harus pupus harapan oleh karena anak yang didamba bertahun-tahun mangkat sebelum lahir. Ya, Mangkat hanya dua bulan satu minggu dari rencana manusia. Tapi Tuhan pasti punya rencana terindah yang lain buat lae kami tetapi harus diuji loyalitas dan ketabahannya menjalani hidup. Tuhan mau loyalitas dan kepasrahan itu harus meningkat dulu. Karena jasad Timotya sudah sempurna sebagai manusia maka dia berhak dicatat dalam sejarah kehidupan ipar saya meskipun menurut Adat Batak belum terbilang. Biarlah lewat Puisi keberadaan Timotya akan senantiasa tercatat tanpa harus di Akte Kelahiran.
Puisi 'Pencari Tuhan Yang Sesat' berawal dari fenomena betapa mudahnya untuk mengaku seorang ulama di negeri ini. Dengan membungkus tubuhnya dalam berbagai simbol-simbol agamis, maka jadilah dia seperti pembawa suara kenabian. Tak perduli Sosok berjubah ini mencampuradukkan hal politik dan duniawi yang gemerlap sebagai sandingan surga yang maha suci. Tak sedikit yang terpengaruh, bahkan ikut menebarkan kesesatan tentang hakekat Tuhan, hakekat Surga dan hakekat kasih dan rahmat.
Puisi 'Yang Ingin' lahir dari upaya menemukan pasangan hati yang bertahun-tahun dimohon dan dipinta kepadaNya, akhirnya terkabul pada 4 Juli 1998 pada sesosok Melvi Juliwaty Sinaga, S.Hut, MSi. Puisi ini mengalami sedikit pengeditan oleh redaksi. Kata-kata YANG pada tiap bait puisi dipotong redaksi.
Inilah Ketiga puisiku tersebut:
SEJARAH TIMOTYA
Di batas semua ada
rahasia kita rapi
terjaga
tak kusangka mula alifmu tertunda
Di separo hidupku
manusia
meski tak bergaris
sempurna
dalam diam kata
rohmu terbilang nyata.
Sekalipun sekedip mata
engkau ada
di ruang waktuku jelas
kubaca, kubaca.
Engkau membawa tuahku
sememangnya tua
di jengkal kita
berjarak aku bertambah nama
bahkan dalam lara yg
terpeluk ada
sedang engkau kutitip
tanpa nama
Timotya
Timotya.
aku dahaga
Stella Maris Medan, 4 Agustus 2014
RIP Timotya
PENCARI TUHAN YANG SESAT
Nyatanya kebenaran
sudah tertentukan sebelum percaya seluas apa pikir Tuhanmu.
meskipun dengan
raung dan tanda-tanda lahir terpetakan,
pengakuan mana hendak kau mula
jika tak tuntas bersapa salah.
lalu apakah dalam
pikirmu: Yang tak bermula
awal dan bertanda akhir bisa
dimulakan
dan dihentikan dengan panjang kata
dan titik henti iqra setinggi
dalilmu saja?
Lalu semua najis mana
yang minta kau lepas dari banyak
rahasia kata raga
jika maumu sedu mu saja yang jujur bersahaja berbalas pahala.
sementara batasmu kau
takarkan pada batasNya tak berbatas
terlalu banyak kata cintamu lebih benar bahkan
lebih dari penyamun
yang menyerah tangis tak perlu kata.
Duh, Serupa seperti
moyangmu, jahatmu mengulang latah yang sama
membatas surga pada besar silsilah keluarga
dengan sejarah direka-reka
melarang Tuhan datang
pada semua
dengan rupa
dan tanda berbeda.
Medan, 15 Agustus 2014
YANG INGIN
Yang ingin kurampok dari
hatimu
Hanyalah kasih sayang
biar jadi kaya segenap
rasa hatiku
biar tercampak segala
kemiskinan sukacitaku.
dan aku bisa lelap
dalam kasih sayang
Yang ingin kubangun
dari hatimu
adalah rumah harapan
biar hadir jendela
kenyataan dalam diriku
biar tercampak segala
petualangan
Dan aku bisa diam dalam
rumah kasih sayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar