Kalimantan Selatan adalah Provinsi yang menyimpan banyak kenangan. Ada masa-masa ku culun di sini, ada masa-masaku serius kuliah,ada masa-masa jatuh cinta, ada masaku menikmati itik alabio panggang yang khas termasuk juga masa-masa diriku sangat aktif menulis puisi. Pada Periode 1987-1992 meski aku tak pernah mengirim karya ke koran, tetapi karya puisi dan cerpenku rutin mengisi halaman Warta Sylva yaitu buletin kampus Fakultas Kehutanan Unlam, dimana aku duduk sebagai salah satu redaksi. Di samping buletin tersebut, aku juga rutin mengirim karya puisi ke Radio Mercu Clan (kemudian berubah nama menjadi Bahana Nirmala). Hampir tiap minggu puisiku dibacakan oleh berganti orang yang ditunjuk pengasuh Ruang Sastra Radio itu yang bernama Fakhrudin. Setelah puisi dibacakan, maka Bung Fakhrudin akan mengulas puisi itu. Dia begitu paham teknik apresiasi puisi sebagaimana dia paham banyak penyair nasional dan karya-karyanya. Dia juga punya banyak sumber bacaan filsafat, sastra dan buku humaniora lainnya sebagai rujukan untuk membahas puisiku. Ya, pada masa itu orang Kampus mengenalku sebagai si Pembuat puisi, si pembuat cerpen disamping si Mahasiswa Berprestasi III Tahun 1990 Fakultas Kehutanan UNLAM
Pernah suatu ketika ada permintaan dari Ketua Senat yang mengharapankan siapa saja yang bisa mengarang puisi dapat menulis puisi buat dibacakan pada saat pelepasan kakak kelas yang telah jadi sarjana. Aku mengirim puisiku dan terpilih dari beberapa puisi yang masuk. Tepat pukul 00.00 WITA di suatu subuh, puisi itu kubacakan dikelilingi kakak kelas yang sudah lulus hanya dengan diterangi senter yang dipancarkan sahabatku Benyamin Situmorang di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unlam di Mandiangin (Sekarang bagian dari Taman Hutan Raya Sultan Adam). Puisi itu pun beberapa waktu kemudian kukirim juga ke Radio Mercu Clan. Seperti biasa puisi itu dibacakan dan diulas dengan serius oleh Bung Fakhruddin.
Hingga suatu ketika aku mendapat undangan untuk menghadiri Temu Sastra Radio Mercu Clan di suatu Gedung Serba Guna di bilangan Martapura. Aku sudah lupa namanya. Ternyata temu sastra itu dipandu oleh Sastrawan Nasional Asal Kalimantan Selatan bernama Ajamuddin Tiffani. Beliau pada kesempatan itu menyampaikan ulasan terhadap seluruh karya puisi yang masuk ke Radio Mercu Clan sepanjang tahun tersebut sekitar tahun 1991. Ketika ada kesempatan diskusi aku sempat berdebat cukup lama dengan sastrawan tersebut tentang beberapa hal dimana kami berbeda pendapat. Setelah debat kami selesai, teman-teman penyair lain yang diundang memberi tepuk tangan meriah. Aku menyangka bahwa temu sastra itu hanya pertemuan rutin untuk pembelajaran dan sharing menulis puisi saja. Ternyata Pertemuan itu adalah juga untuk penilaian 20 Karya Terbaik Puisi yang dibacakan sepanjang tahun itu di Radio Mercu Clan. Dan puisi yang berjudul DI TEMPAT INI KEMENANGAN ADA yang pernah kubacakan di hadapan kakak kelas yang sudah jadi sarjana termasuk diantara 20 Puisi Pilihan. Itu baru kutahu setelah beberapa bulan kemudian, Sondang Dairi Manullang, adik kelasku di Fahutan Unlam menyerahkan Piagam penghargaan atas namaku. Ternyata baru kutahu, Bung Fakhruddin menyewa salah satu kamar di rumahnya. Dan baru kutahu juga Bung Fakhruddin ternyata adalah mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat juga.
Sekarang aku tak tahu dimana Bung Fakruddin berada dan Radio Mercu Clan yang berubah nama menjadi Bahana Nirmala pun sudah almarhum, demikian halnya dengan Bapak Ajamuddin Tiffani sudah menghadap Tuhannya. Puisiku yang termasuk 20 puisi terbaik itu pun tak kutahu dimana keberadaannya karena aku tak memegang arsipnya lagi. Tertinggal di banjarbaru, kemudian hilang bersama klipingan puisi dan cerpen ku yang lain ketika Kakakku sekeluarga pindah ke rumah baru saat aku sudah mulai bekerja sebagai PNS di Medan.
Mengenang Kalimantan Selatan yang penuh dengan pengalaman indah membuatku memberanikan diri mengirim puisi ke Banjarmasin Post beberapa waktu yang lalu. Alasan itulah yang kuungkapkan mengawali kalimat di emailku yang kutujukan pada redaksi. Puji Tuhan, karyaku layak muat pad atanggal 18 Januari 2015. Serasa aku hidup di masa muda di Banjarbaru. Ada 2 puisiku, yaitu: 'KETIKA AKU BACA SURAT KABAR INI' dan "DI PASAR SIMPANG LIMUN"
KETIKA AKU BACA SURAT KABAR INI
Hari ini dua puluh anak Teweh
telah merdeka dari bayang-bayang
Di jantung Teweh
telah mengalir darah beku
menyusur sungai-sungai
sampai juga matahari bara
menusuk kusut kabut
Ada karnaval menggaungkan lagu anak-anak
merdeka
dan derap yang teratur disusui komando
Dengarlah, anak-anak itu tak nampak
tulang rusuknya
Hari ini juga ada dua puluh anak Teweh
terbelenggu di Kusir
sia-sia berontak kepada peradaban
yang menikam di jantung indera
Dengarlah, tak ada requiem menggaung
menggesek kamboja
lalu burung-burung kecil itu entah
kemana
Hujan, hujan yang menangisi anak-anak
itu
(Mestinya mereka tahu, anak-anak itu
tinggal punya tulang rusuk)
DI
PASAR SIMPANG LIMUN
Hey,
inang jumpa lagi senyummu.
pagi ini, entah berapa hitung minggu
aku memilih keberuntungan yang kau jaja
selalu kita sepakat walau dimulai
argumen tinggi rendah
sampai tangan kita akur, ikhlas menukar untung masing-masing
sekepal daun kehidupan, pedas cabai
rawitmu memuaskan isteriku minggu lalu
Pindah dulu aku inang ke tempat kakek itu menjual kehidupan
gerombolan dua puluh betina merah, pinggulnya menggodaku
asal saja dia betina danau, kubawa
pulang buat putriku
minggu lalu betina lumpur telah
mengakhiri tawa kami.
sungutnya menjadi, untungku tak berarti
Di tiap persikuan petak ini aku belajar
tahan uji
menakar
kejujuran, menaklukkan basa-basi inang dan kuli
menandai teriak dua tiga anak kecil di pagi buta mengalihkan
mimpi
berkelit mesti dengan banyak cara mencuri-curi
memastikan nilai tukar tawa sama bernilai tinggi
memilih sayur, seonggok daging, sepasang
sepatu bebas dari gumpalan bual janji
agar ibu putriku tetap berdendang di
pinggir kuali.
menakar
keberuntungan disini mesti
dengan hati-hati
mana yang alibi, mana yang janji semua
tampak seperti hakiki
setandan pisang wangi, kuning
karbit atau asli
perempuan setengah tua mulutnya lalu
nyinyir
apakah sekedar gertak atau
intimidasi kita harus berkali
tak perlu surut nyali.