Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ada 5 arti rasa. Ada tiga arti rasa yang secara harfiah masih berkaitan
dengan indera pengecap yaitu lidah yang berkaitan dengan pahit, manis, panas ataupun dingin. Selain 3 arti rasa yang berhubungan dengan lidah ternyata ada dua arti rasa
yang sudah meluas tak sekedar respon indera saja. Arti yang keempat itu adalah
tanggapan hati terhadap sesuatu seperti sedih, bimbang, takut. Adapun arti yang
kelima adalah pertimbangan mengenai baik atau buruk, salah atau benar. Arti
yang pertama sampai dengan yang ketiga
dari puluhan tahun yang lalu dengan sekarang bisa dikatakan statis ataupun
kalau mengalami pergeseran tidak menghilangkan sifat asalnya. Katakanlah arti
manis, asin, pahit, asam, panas atau dingin. Sifat asal dari kata itu masih
sama, pergeseran rangsang terhadap seseorang hanya dibedakan oleh kata sangat,
agak, sedang atau terlalu tergantung tingkat pengalaman lidah pengecap terhadap
benda yang mempunyai rasa yang saya sebutkan di atas.
Arti keempat karena mempunyai arti yang
meluas karena tidak sekedar soal ‘kecapan’ tapi karena sudah menyangkut hati. Bahkan
arti rasa yang kelima selain melibatkan soal hati ternyata juga sudah
melibatkan sedikit pikiran sehingga
pergeseran arti rasa itu tidak sekedar pada kadar sangat, terlalu,
sedang atau tawar tetapi bisa bertolak
belakang dari arti sebelumnya. Jika dulu
orang yang hamil di luar nikah dianggap aib besar bahkan bisa sampai terkena
hukuman pengucilan, sekarang masyarakat cenderung permisif. Jika dulu seorang ayah
yang terkena kasus korupsi, akan berdampak kepada lahirnya rasa malu mendalam dengan wujud kepala yang tertunduk, bahkan penyesalan
bercampur putus asa akibat kehilangan martabat yang sangat dalam. Tidak hanya
kepada si pelaku tetapi sampai kepada anak isteri bahkan sampai kepada keluarga
besar si pelaku. Sekarang si pelaku malah bisa membusungkan dada, tersenyum
bahkan tertawa menantang. Dulu bencana
yang melanda satu orang saja akan
dikenang sebagai peristiwa pahit yang juga dirasakan anggota komunitas lainnya
dari seseorang itu. Sekarang ini, bencana yang mematikan ribuan jiwa, akan
segera terlupakan dalam beberapa bulan atau setahun kemudian. Dalam tulisan ini
saya tidak akan membahas lebih dalam soal korupsi atau bencana, tetapi mencoba
beropini mengenai beberapa kebiasaan orang Medan terkait arti kata ‘rasa’ yang kelima menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia dalam menggunakan sarana/prasarana lalu lintas.
Ketika penulis berkunjung ke Singapura,
Malaysia atau Brunei lalu mencoba melihat, dan mengamati pengendara di sana
dengan menjadikan diri sendiri sebagai bagian dari sampel pengamatan (Diri
sendiri sebagai subyek penyeberangan jalan). Dari beberapa kali uji coba
menyeberang jalan baik pada daerah yang
ada traffic light maupun yang tidak ada maka penulis menyimpulkan bahwa ‘rasa’
pengendara di negeri tersebut telah menghasilkan pertimbangan baik atau buruk, salah ataupun benar (bila
melihat seseorang menyeberang di jalan raya) yang sesuai dengan dalil
transportasi bahwa pejalan kaki adalah hirarki tertinggi diantara seluruh
pelaku transportasi sehingga wajib diutamakan. Sebagai sampel, ketika saya
menyeberang di beberapa jalan di kota Bandar Seri Begawan seperti di daerah
Gadong dengan cara berjalan santai maupun tergesa-gesa, maka respon pengendara
sama: pedal rem akan diinjak si pengendara dan kendaraan berhenti pada pada
jarak 20-30 meter dari si penyeberang. Hal tersebut berulangkali saya alami
baik di Singapura atau Brunei, tidak hanya pada saat traffic light berwarna
merah bahkan saat traffic light berwarna hijau bagi pengendara. Saya perhatikan
sekeliling, tak ada polisi yang berjaga di sekitar traffic light maupun
persimpangan jalan sebagaimana yang banyak terlihat di kota Medan, untuk membuat
‘rasa’ pengendara ini baik dan benar. Lalu cobalah kita lihat ungkapan rasa baik-buruk atau salah-benar para pengendara
di kota Medan (termasuk diri kita saat berkendara), mulai dari beca, sepeda
motor, angkutan kota, kenderaan bernilai milyar rupiah atau yang hanya bernilai
ratusan ribu. Semua seperti berlomba mengangkangi zebra cross, bahkan bila perlu trotoar yang
seharusnya hak pejalan kaki. Pada sampel
lain Ketika penulis beberapa kali menumpang taksi di Penang, baik ketika di
jalan raya maupun di jalur antrian menuju ferry, maka tak ada satupun kendaraan
yang mengangkangi marka jalan meskipun kesempatan itu sangat memungkinkan si
pengemudi untuk dapat menjadi yang tercepat sampai ke ferry. Semua berbaris di
jalurnya dengan rapi sehingga tidak menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan
dalam menaikkan puluhan kendaraan roda empat ke atas ferry. Lihatlah ilmu rasa
orang Medan di jalan raya: Semua jenis kendaraan akan berlomba-lomba
mengangkangi marka jalan maupun trotoar demi menjadi yang tercepat bergerak
ketika traffic light berganti dari merah ke hijau. Yang berpakaian berdasi,
yang memakai simbol-simbol agama di tubuhnya, yang kumal, yang ganteng maupun
yang terjelek, mayoritas menunjukkan rasa bangga kalau bisa menjadi yang
tercepat dalam berkendara sekalipun
merampas hak orang lain. Tak ada raut yang menunjukkan rasa bersalah, tak ada
yang menunjukkan rasa buruk dalam
penampakan rautnya. Bahkan ketika sekelompok kecil pengendera yang punya rasa
seperti orang Brunei berkendara, maka justru kena hujatan melalui klakson yang bertalu-talu
karena dianggap menghambat laju kendaraan si perampas hak. Malah sebagian para
perampas hak pengguna lalu lintas ini mengumpat pengendara tertib yang mencoba
mengingatkan mereka. Apakah para pengendara brutal ini merasa waktunya yang
terpenting menuju tempat kerja atau pulang ke rumah? Tapi anehnya, sampai saat
ini belum pernah terdengar ada pembalap mobil Formula I maupun sepeda Motor 250 CC yang berasal dari
raja jalanan kota Medan maupun Indonesia.
Sebagian pengendera brutal ini
membela diri dengan alasan bahwa jalan di kota Medan sudah kurang lebar, sedang
kendaraan terlalu banyak. Jawaban yang sangat subyektif untuk jalanan di kota
Medan. Jawaban mereka dapat diterima jika
hal tersebut digunakan untuk membela diri di Kota Jakarta. Karena sekali
waktu ketika polisi lalu lintas hadir menertibkan perilaku serampangan
tersebut, kemacetan lalu lintas di kota Medan dengan segera dapat teratasi.
berbeda halnya dengan kemacetan jalan tol di Jakarta yang menunjukkan
ketimpangan yang sangat besar kendaraaan yang keluar-masuk suatu persimpangan
jalan. Contoh paling nyata akibat rasa pengendara yang salah dan buruk dalam
berkendara dapat dirasakan ketika kita berkendara di sekitar jalan daerah
Simpang Limun pada pukul 6.00-8.00 WIB. Jika kita berkendara dari arah Amplas
maka begitu berada di wilayah Simpang Limun, akan terlihat barisan kendaraan
roda empat yang parkir di jalan sebelah kiri, lalu trotoar di tengah jalan
dipenuhi pedagang penjual buah, sayur dan lain-lain sebagaimana pedagang yang
menggelar dagangannya di ujung jalan dari arah Sakti Lubis. Lalu pada jalan
dari arah Ramayana Teladan, maka setiba di daerah Simpang Limun akan segera
macet akibat angkot yang ‘ngetem’ seenaknya, pedagang menjejerkan jualannya di
tepi jalan, becak berlawanan arah menghalang laju kendaraan, kendaraan yang
bergerak lambat di sebelah kiri tiba-tiba hendak menyerobot jalur kanan. Ada
polisi, ada pegawai Dinas Perhubungan, sesekali ada Satpol PP yang selalu
berdiri di pinggir jalan sekitar Simpang Limun tersebut tetapi kemacetan luar
biasa tiap hari selalu terjadi. Saya belum dapat menyimpulkan ilmu rasa pegawai
Dinas Perhubungan dan polisi yang berdiri di pinggir jalan simpang limun tersebut
dalam hal memberi rasa aman dan nyaman bagi pengguna lalu lintas yang berhak.
Ketika sekali waktu walikota Medan berbaik hati menginstruksikan penertiban pedagang
dan kendaraan di wilayah Simpang Limun, maka segera terlihat lalu lintas yang
lancar dan bersih. Sayang, upaya penertiban seperti ini hanya bersifat kagetan
saja frekuensinya.
Lantas sebagian raja jalanan ini akan
membela diri lagi dengan berkata untuk tidak membanding-bandingkan Brunei,
Malaysia dan Singapura yang kaya dengan Kota Medan. Tentu untuk ini saya juga
punya jawaban bahwa di tiga negara ASEAN yang relatif lebih makmur dari Indonesia
tersebut justru lebih banyak kendaraan lawas, sederhana dan berharga murah yang
lalu lalang dibanding dengan kota Medan. Bahkan di Penang kendaraan ‘ASTUTI’
alias honda bebek tahun 73 sampai tahun 80 an masih banyak lalu lalang. Sesuatu hal yang tentu sangat menimbulkan rasa gengsi buat orang Medan
yang sering menyebut ‘ndak level lah’. Bahkan angkutan umum yang berbodi
besar seperti di Singapura dan Malaysia
tak perlu menunggu lama untuk tiba di depan halte tempat calon penumpang
menunggu. Kendaraan umum di negara itu bersih, berpendingan udara baik dan
ongkos yang sangat murah dibanding tingkat kepuasan yang diperoleh penumpang.
Data menunjukkan bahwa ‘Ilmu Rasa’
yang buruk dan salah sebagai penyebab utama kecelakaan lalu lintas di negeri
ini. Data tahun 2013 Kepolisian RI menunjukkan jumlah kecelakaan lalu lintas di
Indonesia sebanyak 93.578 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 23.385
jiwa. Dari jumlah tersebut maka kecelakaan lalu lintas di kota Medan memberi
andil sebanyak 1.157 kejadian dengan korban jiwa sebanyak 217
orang. Penyebab utama kecelakaan tersebut adalah tidak disiplinnya pengguna
lalu lintas, diantaranya melanggar traffic light dan tanda lalu lintas lainnya.
Kematian akibat kecelakaan lalu lintas tersebut termasuk dalam 10 besar
penyebab kematian di Indonesia. Bahkan oleh Badan Dunia Kesehatan PBB menyebutkan
bahwa kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian nomor tiga di indonesia
setelah penyakit jantung dan TBC.
Sudah saatnya para pengguna dan
pengatur lalu lintas yang mempertahankan ilmu rasa yang salah dan buruk di
jalan raya, merenung dan mengubah tabiat. Merenung sambil menyeruput teh atau
kopi di kedai, menyeruput tuak di lapo
(jangan sampai mabok tentunya) dan tidak mengulanginya lagi setelah bangun
tidur di pagi harinya. Menjaga lalu lintas dengan semangat melayani dan tulus
ihklas, menggunakan sarana dan prasrana lalu lintas dengan meniadakan sikap egoistis, menjaga
kebugaran tubuh serta menjaga kendaraan dalam kondisi prima. Dan pedagang yang
memakai jalan raya untuk mengais rejeki berhentilah menggunakan alasan
kemiskinan untuk mendapat ‘privelege’ yang tidak benar. Karena jalan raya bukanlah
untuk menggelar dagangan. Itulah Ilmu rasa yang baik dan benar.
Artikel ini telah dimuat pada Harian Analisa Medan,pada hari Sabtu tgl 4 Oktober 2014