Setelah berlalu 1 April yang disebut di negeri seberang sana All Fools' Day atau dengan nama lebih beken April Mop yaitu hari yang di negeri Barat sana merupakan hari kesempatan berbohong, berlelucon, mengerjai dan membuat kejutan pada orang lain dari dinihari 1 April sampai menjelang siang, maka kejutan tapi bukan lelucon dan kebohongan dan tanpa niat mengerjai kudapat tanggal 2 April 2016. Bermula dari membaca pesan inbox di FB ku dari Maulidan Rahman Siregar dan Maymoon Nasution yang mengabarkan ada puisiku yang terbit di koran Tempo. Setengah tak percaya, lalu kucek di group SASTRA MINGGU tempat biasa aku melihat info terbitan sastra/budaya di media sepanjang jumat, sabtu, minggu atau menurut hari terbit karya sastra/budaya di suatu media (sebagaimana sumber info dari Maulidan Rahman). Benar adanya info Maulidan Rahman bahwa Mas Bamby Cahyadi yang menginfokan terbit puisiku di Koran Tempo yang melahirkan rasa penasaran dan keingintahuan lebih lanjut sebab info Mas Bamby tanpa keterangan judul puisi. Dan di Medan, biasanya Koran Tempo Edisi Akhir Pekan (menurut loper koran langgananku) baru tiba pada hari minggu. Maka rasa penasaranku masih berlanjut satu hari lagi dan sengaja kubiarkan tanpa meminta info tambahan kepada Mas Bamby. Lalu ketika koran tersebut dapat dicari loper koran langgananku di distributor yang menurutnya ada di sekitaran Sambu, rasa penasaranku pun berakhir sudah. Kulihat pada lembar sastra koran tersebut bahwa judul puisiku yang terbit adalah 'EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN'. Puisi ini sebenarnya sudah pernah saya ikutkan dalam LOMBA CIPTA PUISI SENI INDONESIA BERKABUNG dan terpilih sebagai 39 PUISI PILIHAN oleh Dewan Juri Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto dan Prof. Dr Farouk HT. Kata Panitia puisi pilihan akan diterbitkan dalam Antologi berjudul 'DI BAWAH PAYUNG HITAM' . Ternyata panitianya tukang ngibul kalau tidak disebut penipu. Dari janji diterbitkan, kesanggupan panitia turun jadi hanya mampu membuat terbitan katalog seluruh event yang dilombakan (Poster, puisi, teater), lalu dengan alasan tak punya biaya cetak turun lagi kemampuan mereka jadi hanya berencana memberikan e-katalog kepada kontributor. Ketika aku berkomunikasi melalui FB Seni Indonedia Berkabung milik panitia itu maka jawaban yang kuperoleh hanya pembelaan diri yang sulit diterima. Pertama mereka mengaku merupakan kolaborasi 4 Perguruan tinggi hebat di Yogyakarta seperti Universitas Sanata Darma, Universitas Dutawacana, Universitas Atmajaya dan Universitas Gajah Mada. Selanjutnya mereka juga menyebut-nyebut KPK sebagai penyantun mereka, sebab event lomba yang mereka organisir adalah dalam rangka mendukung pemberantasan korupsi. Sungguh tak masuk akal jika betul mereka sudah berkolaborasi dengan universitas dan KPK biaya cetak mereka jadikan alasan kegagalan terbit Antologi Puisi Pilihan Lomba Cipta Seni Indonesia Berkabung sebagaimana mereka tulis dii Pengumuman Lomba yang mereka sebar di group-group facebook. Hari demi hari dari bulan Oktober-Desember 2015, kemarahanku selalu bertambah setiap berkomunikasi dengan panitia abal-abal itu. Selalu kudapat jawaban hanya untuk berkelit dan melepaskan tanggung jawab. Di Bulan Desember 2015 laman FB Seni Indonesia Berkabung itu mati suri tak pernah lagi melakukan pembaruan berita hingga saat ini (Silahkan pembaca buka). Dan semua tanya jawabku yang penuh kemarahan kepada panitia abal-abal tersebut mereka hapus. Yang tersisa adalah berita lama yang memuat sisi kesuksesan mereka menyelenggaran event Seni Indonesia Berkabung.
Syukurlah Koran Tempo berkenan memuat puisiku tersebut meski pada lembar akhir puisi sudah saya sebut bahwa puisi EMPAT PERKABUNGAN BERSNGGUNGAN ini sudah pernah diikutsertakan lomba, terpilih sebagai 39 Puisi Pilihan oleh Dewan Juri kelas nasional dan sedang menanti untuk terbit jadi Antologi Puisi Pilihan. Kekecewaanku oleh tipu-tipu panitia abal-abal Seni Indonesia Berkabung terobati. Inilah puisiku tersebut:
EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN
1
apa yang kau
dengar bila serigala dan luwak
berbisik di punggung
bulan
selain berbincang jubah paling cemar
memintal dari mangsanya
samar memerangkap mangsa lain
pernahkah mereka terdengar jujur
bertukar rahasia memalukan
tentang bulu ayam yang tak lagi sempurna
membalut muslihat
atau bulu domba
kuning menangkap
tabiat
serigala?
atau mereka
berbagi pengakuan tentang
darah anak domba
di celah taring
merintih tak jemu
memanggil inang
di setiap tubuh
terhempas
hingga kekejaman mereka tersungkur
tertikam belas kasihan
membiarkan
lapar jemu lalu hilang kesadaran
bulan phobia maksud bulan
bersemu tiap memancing gairah
sampai sujud melolong-lolong pengampunan?
Pertemuan luwak dan rubah ini tak biasanya
di saat bulan pucat hilang darah
telah pula
berlalu gairah jam-jam pengintaian
ayam paling jantan telah subuh terjaga
memanggil-manggil persekutuan waktu
mufakat apa yang tak perlu rahasia?
astaga, mereka bertukaran kepala!
2
domba yang tergoda
tak bercita-cita layu di penjagalan
tapi kekal harus
jatuh kepada hiruk pikuk
langit penawar
terbeli nasibnya dari pecah ketuban
sampai diiris hak veto
hanya ditimbang
rasa lapar,
jadilah kami tumbang bakaran
yang tak pernah dikorban sungguh-sungguh
domba putih pembasuh masa lalu
domba sesat kami. memang
tapi tak sekali pernah mengingkar suratan
hanya termangu dalam jurang bingung
memanggil-manggilmu sedalam khusuk perih
hai gembala dari lembah kekinian
pabila membawa tongkat keberanian
menjulurkan cahaya ke ujung muasal sesalku
domba dan gembala biasanya
beriringan ke hamparan nasib berbatu
menghalau rasa lapar mengintai
sampai ke ujung senja
berhitung sama-sama
dengan segenap apa
melumpuhkan rasa takut
jangan kawanan tercecer hingga sedarah
kalaupun domba mengerangkan puting
disesah masa nifas
jeritnya masih mengalirkan susu suci
darah paskah
bagi kawanan gembala
hanya letih menguras air tubuhnya
terhalau serigala ke gunung sunyi
pertemuan yang tak biasa gembala dan domba
saling memunggung menilik matahari
jangan kemana
menukik semangat
3
Gembala dan tuan yang sepakat
menyeret domba ke kejauhan
berbisik hal
rahasia peruntungan nasib
sekawanan
seharkat bulu dan daging
hingga pandangannya jauh
semua mesti tampak
lumrah.
kebiasaan
menenangkan domba
jika
takdir saatnya menungkup
sesekali gembala dan
tuan memotong
tatap dengan senyum
lambai
dengan mantra penenung mata domba
bila terlanjur
curiga
sampai sepenuhnya
lupa petaka menghadang
bila tuan datang
menghalau gembala pada sabtu dan minggu
bermulalah awal cerita kepunahan
tetua domba
kata tuan mesti ikut berlibur ke kota
tapi tak pernah pulang-pulang.
hanya gembala yang kembali dengan kubis dan bungkil
mengasup lenguh kawanan sebukit kenyang
lupa menduga-duga
seperti besok rerumputan menyibukkan mereka
sambil gembala bermain
tongkat memedi
4
pada jurang paling malam
dombalah menubruk
cahaya
dari mata bingung membandingkan
beberapa perkawanan warna
ada hijau selain
rerumputan
bungkil dan kubis memantulkan sedap
jalangnya baru
akil akhirnya
tergoda
mengecap
seturut lapar
mendidihkan berahi
melajulah hasrat mematah tongkat gembala
yang acap melayar pantangan ke atas pikirannya.
seketika seikat persekutuan tertebas dari amanat
rindu dendam
dilarikan menungkap cahaya memikat
melupakan naluri
kuat: domba mesti berserikat
Hup! domba itu tertangkup di palung cahaya
sebuah rupa tiba-tiba terlihat sesungguhnya.
memagut sepenuh gairah semua mata sadar
tak sempat sesal
menyusup
membawa kabar pada darah terkucur
tangis menempel di sisa tubuh
terlunta sia-sia ke rumpun bebatuan
gembala hanya
terbangun meraung-raung
jika jumlah
semakin ganjil
dengan tongkat patah bingung memetakan arah
tak terdengarnya
dimana sesal memanggil-manggil