Facebook telah hadir sebagai pengabar yang baik. Dari kenalan masa kanak-kanak yang lama tak bersua muka hingga pembuka komunikasi 2 orang yang tidak saling mengenal tapi oleh minat yang sama dapat bersahabat melalui Facebook.
Bermula dari kekaguman pada puisi-puisi Mas Budhi Setyawan pada blog pribadinya di Wordpress.com, maka aku iseng-iseng browsing akun facebooknya. Eit, ketemu dan kulayangkan permintaan pertemanan. Dan sejatinya para sastrawan umumnya adalah pencari persahabatan.Meski dalam raut terkesan serius, tampilan semau gue dan urakan sehingga sering sastrawan dianggap sebagai pribadi yang penyendiri dan anti sosial.Ternyata dalam komunikasi, tampilan itu tak sepenuhnya benar. Betul, sastrawan cenderung menyendiri ketika menyublimkan fenomena dan responnya sehingga terwujud dalam karya, Tetapi sebagai kodrat manusia sempurna dicipta Tuhan, akan senantiasa membayar kesendirian itu minimal dalam komunitas satu selera.
Demikianlah aku dan Mas Budhi sering berkomunikasi lewat facebook, bertanya lewat facebook, berkomentar lewat facebook. Banyak informasi, pengetahuan dan kesempatan berkarya komunikasi lewat facebook. Berkat keramahtamahan beliau berkomunikasi, akhirnya seorang Budhi Setyawan kutahu aktif di Forum Sastra Bekasi yang menerbitkan buletin JEJAK. Kukirim 6 puisi kepadanya untuk diseleksi. Seminggu kemudian kuralat satu puisi agar didrop saja dari proses seleksi karena sudah terlanjur dimuat Banjarmasin Post. Maka dari 5 Puisi itu muncullah 3 puisiku pada penerbitan Buletin Jejak Edisi 47/Februari 2015 yaitu yang berjudul PRIMUS INTERPARES PICISAN, BATU dan GANDRUNG-GANDRUNG, yang kuterima file PDF-nya melalui emailku. Segera kuprint file PDF tersebut sebagaimana di bawah ini.
Terimakasih untuk jerih pikir dan jerih badan redaksi Buletin Jejak.
PRIMUS INTER PARES PICISAN
Sedikitpun kami
tak khawatir roda ini mangkat berputar
membunuh nasib
dan keberuntungan. ada dan tiada selalu
berulang
ditiap kami hidup dengan nafas seharga sama.
tanpa menghitung berapa jarak
harapan dan
putus asa yang sudah berlalu toh tak
berbeda jauh
gertak dan iba
yang ditentangkan. tiap kami menangis
senasib sepenanggungan hidup hanya merasa beruntung
kami khawatir
beribu-ribu waktu berlalu.
Roda
berputar lupa dihitung berapa kali
menangis dan tertawa.
di pusat
sumbunya rasa sakit tak pernah hilang
terdengar dari
ratapan
penunggang
dan penumpang berganti dengan marah yang
sama.
bertentang
tanpa iba menyesatkan perjalanan dari jarak tercatat.
lupa
keberuntungan. roda berputar jauh melaju
tak bisa kemana
pulang apalagi bertemu harapan.
B A T U
Sebuah rumah
batu
jendela batu,
tak berpintu
telah tumbuh
dari rumah kayu
tak ada engsel
membuka jendela
engsel jadi
batu
tak ada engsel
menutup pintu
engsel jadi
batu
aku pun berdiri
di depan rumah batu
melihat biniku
jadi batu dekat tungku
di kursi batu
dengan liang
sanggama meneteskan
calon anakku,
jadi batu
(Rumahpun
melahirkan gaung
dan tertusuk di
tiap dinding)
dua telingaku
mulai terasa jadi batu
Suara nyanyian
itu menempel di dinding
pun jadi batu
jadi ornamen
tak punya jiwa
hanya tubuh
lantas kemana
orang-orang itu?
Astaga!
Pasangan itu
mengangkang jadi batu
GANDRUNG GANDRUNG
Salahkan lapar
yang dendam telah menumpas Tirta Gondo
membuat jembalang
liar hasratnya pada hari malam
meninggalkan
berahi pada jejak- jejak perlawanan lelaki
bertahun
Antasena telah gugur bersama topengnya
Apa salahnya
perempuan Blambangan menampakkan rupa
tanda sembah
jujur pada cantiknya Dewi Sri
dengan betis
bunting mengiakan angin
Jangan salahkan
kempul, panjak dan seblang
membesarkan
semangat membuat terkapar akad lelaki
karena subuh
memang waktu tidur biarkan jembalang mencari-cari
kawan ilalang
dari rumpun padi
Kalau Antasena
ada tak perlu santri tergoda
merajam dan
meradang
karena Semi dan
anak-anaknya hanya sungguh
mengoda Dewi
Sri berjumpa Antasena
Gandrung
Gandrung sembahmu agung!
(Terilham Banyuwangi 2012)